Reporter Tribunnews.com Reynas Abdila melaporkan-Jakarta TRIBUNNEWS.COM-Dewan Pengawas Persaingan Komersial (KPPU) telah mulai menyelidiki dugaan lima pemain komersial di industri terhadap kartel praktik penetapan harga eceran (BBM). – “Kecurigaan adalah bahwa sejak Maret 2020, perusahaan ritel BBM belum mengurangi harga bahan bakar yang tidak disubsidi, meskipun harga pemasok bahan bakar global telah turun sejak awal tahun ini,” kata juru bicara dan komisaris Guntu Saragih Guntur Saragih pada hari Selasa (5/5/2020). Menurutnya, KPPU menyertakan bukti yang menjadi dasar penegakan hukum.

“Dia menjelaskan bahwa yang disebut pelanggaran ketentuan pasal ini adalah tentang Pasal 5 yang melarang pelaku komersial melakukan penetapan harga bersama.”

Baca: Lima perusahaan minyak yang terlibat dalam kartel bahan bakar, KPPU memberikan bukti.

Dalam memperdalam tuduhannya terhadap Harag, KPPU juga memperhatikan sifat struktur oligopolistik pasar ritel BBM.

Menurut Guntur, karena terbatasnya jumlah pelaku usaha, kemungkinan pelanggaran persaingan usaha sangat tinggi.

Baca: Garuda Indonesia dapat menyuntikkan 8,5 triliun rupee dan Krakatoa Steel menyuntikkan 3 triliun rupee.KPU juga memperhatikan apakah situasi ini disebabkan oleh kepemimpinan harga Pertamina.

Menurut catatan, Pertamina mengendalikan total pasar penjualan bahan bakar hingga 98,3% berdasarkan kapasitas distribusinya atau jumlah pompa bensin.

Baca: Doni Monardo bereaksi terhadap kebangkitan Indonesia Tagar ke Medsos, ini adalah pesan untuk staf medis

Pada saat yang sama, Menteri Energi dan Sumber Daya Mineral (ESDM) Arifin Tas Arifin Tasrif mengumumkan alasan terkait harga bahan bakar minyak (BBM), harga bahkan belum turun jika minyak mentah global

ini pada Senin (4/5/2020) di Jakarta dengan demokrasi Dikomunikasikan dalam pertemuan virtual Komite Ketujuh Republik.

“Harga eceran bahan bakar ritel untuk Arifin pada bulan Mei mengatakan:” Pertimbangannya adalah karena pemerintah terus memantau perkembangan harga minyak dunia yang belum stabil atau memiliki volatilitas tinggi.

Menurutnya, faktor lain adalah bahwa pemerintah masih menunggu dampak OPEC + mengurangi produksi sekitar 9,7 juta barel per hari dari Mei 2020 hingga Juni 2020, dan dampak pengurangan produksi sebesar 77 juta barel per hari pada Juli. -Desember 2020 dan Januari 2020, 2021-April 2020, 5,8 juta barel per hari .- “Jadi, harga bahan bakar jangka panjang Indonesia tidak akan menjadi lebih mahal di ASEAN, seperti Singapura dan Laos. “Dia berkata. .